Saturday, March 23, 2013

MALAM MINGGU



Selepas hujan di sore hari, aku terduduk sendiri di teras rumah. Mataku berkeliling menikmati kesejukan dan ketenangan suasana. Hitungan menit saja mataku telah terfokus pada sosok lelaki seumuranku yang sibuk berjalan sambil melepaskan pakaian tebal ditubuhnya. Sosok itu perlahan namun pasti semakin mendekat.

            Setelah menit berlalu, sosok itu mengucapkan salam dan terduduk lemah di kursi kayu yang tepat berada di depanku. “Muka lu kok kumel?” tanyaku tanpa menjawab salam darinya. Rambutnya terliat berkilau karena basah, baju tipis yang masih melekat ditubuhnya-pun lembab. Ia hanya terdiam dan sibuk melebarkan baju tebalnya agar cepat kering. “Tiap gue kesini pasti deh ujan, lu panggil pawang ujan kek” ucapnya dengan wajah ganjil. Aku hanya tertawa sebisanya dan masuk kedalam rumah untuk mengambilkannya selimut dan air hangat.

            “Mau mandi air anget?” tanyaku sambil memberinya selimut. Ia menggeleng kemudian menghangatkan diri dengan selimut tebal yang aku berikan. Mataku kembali berkeliling dan menikmati ketenangan, meski hatiku tidak karuan akibat kedatangan lelaki didepanku. “Ri, nyokap lu kemana?” tanya lelaki di depanku sambil menyeruput teh hangat. “Lagi keluar” jawabku singkat, aku sudah tahu ini permulaan dari perbincangan yang akan menyesakkan dada.

            “Ri, lu tau ngga gue abis darimana?” tanyanya kemudian. “Duh Bim, lu ngga usah maen tebak-tebakan deh” jawabku ketus. Bima tertawa. “Sewot banget sih lu, lagi dapet ya? haha” tawanya semakin menjadi, namun tetap saja ganjil. Aku menatap wajahnya lamat-lamat, ada kebahagiaan tiap meneliti tiap lekuk wajahnya. “Gue abis dari rumah Intan, Ri” sambungnya dengan wajah yang berubah serius. Aku menarik nafas dengan berat seolah oksigen diteras rumahku sudah habis. “Dia yang ngundang gue kerumahnya, katanya mau ngasih gue sesuatu gitu”  sambungnya lagi, masih dengan wajah serius. Aku hanya berdehem tanda mengerti dan memintanya melanjutkan ceritanya, sesekali aku masih meneliti tiap lekukan wajahnya.

            Lelaki didepanku mulai mencondongkan badannya kearahku, ia mengusap wajahnya beberapa kali. “Gue ngga kuat ceritanya” katanya lirih dan aku melihat satu bulir air menetes dari kelopak kirinya. “Gue harus respon apa nih Bim? Gue kehabisan kata buat ngerespon cerita lu yang tentang dia-dia lagi” jawabku berusaha halus walau dalam hati ingin sekali memaki lelaki yang sedang terduduk lemah dihadapanku. Lelaki itu menarik tas ranselnya dan memberiku sebuah kertas keemasan. “Undangan?” kataku setengah berteriak.

            Lelaki dihadapanku sudah tak sanggup menahan puluhan bulir dikelopaknya. Aku hanya melirik wajahnya sebentar kemudian membuka undangan yang ia berikan. “Bim, ini udah bukan saatnya lu nangis. Kalian kan emang udah lama bubaran, undangan ini sih cuma masalah waktu. Cepat atau lambat lu pasti akan nerima ini” kataku dengan desir-desir aneh dihati. Wajah itu masih murung meski bulir-bulir dikelopaknya sudah habis. Ia terus saja termenung, entah apa yang ia pikirkan.

            “Ri, lu kan tau gimana gue ke dia. Biarpun udah lama putus, lu kan tau gimana usaha gue buat narik dia kembali dan lu juga tau kan gimana reaksi dia ke gue?” ucapnya dengan intonasi yang mulai membaik. Aku menarik nafas panjang, membiarkan lelaki didepanku menunggu jawabanku. “Gue tau bim, tau bgt. Tapi lu juga tau kan kalo dia emang udah punya calon suami? Bahkan dari setahun yang lalu bim” jawabku tenang namun intonasi tegas. Wajahnya kembali murung dan mengangguk kalah. 

            Menit terus saja bergerak meninggalkan kami yang hanya duduk terdiam dan termenung. Masing-masing kami hanya sesekali saling tatap kemudian kembali dengan lamunan masing-masing. “Oh ya, ini kan malem minggu bim” kataku spontan. Bima mengangkat wajahnya dan sorot matanya seperti bertanya “trus kenapa?” Aku memukul lututnya dan memasang wajah sebal. Ia masih saja diam dan tak mengerti. “Cewek lu ngga diapelin?” kataku dengan berat hati dan segores luka. “Kok lu malah mikirin dia sih? Lu ngga mikirin gue yang lagi sedih?” jawabnya dengan nada tinggi dan mata merah. “Tetep aja cewek lu punya hak penuh atas waktu luang lu. Bukan si Intan ataupun gue.” Jawabku tegas. Lelaki didepanku menatap mataku dalam, kemudian berpamitan pulang. Sebelum melangkah ia meninggalkan pesan yang sangat membesarkan sekaligus mengecilkan hatiku “Siapapun pacar gue Ri, lu tetep yang akan gue pentingin. Karena lu udah gue anggep adik gue sendiri.”


END 


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Wednesday, March 20, 2013

impas


            “Panas banget ini hari, bro”
            “Yoi, neraka lagi kebakaran kalii”
            “Gue jadi males kuliah nih”
            “Alesan klasik lu, emang lu aja yang males”

            Kuliah managemen tapi ngga bisa memanagemen diri, ya itulah aku. Hampir semua teman sekelasku selalu rajin datang kuliah sebelum dosen masuk ruangan, sedangakan aku? Haram berada dikelas sebelum dosen masuk kelas. “Bro, jangan bengong aja. Ada tugas tuh dari Pak Lana” bisik Bambang membuyarkan lamunanku. “Iya bro, kelompok ini tugasnya. Santai. haha” jawabku asal. Kelas bubar sebelum waktunya dan ini adalah hal terindah bagi mahasiswa, terutama bagi aku.
            “Doni” suara teriakan wanita itu menghentikan langkahku. Aku memperhatikan wajahnya lamat-lamat. “Gue Indri” ia mengulurkan tangannya, aku menjabat dengan senyum. “Oh ya tugas dari Pak Lana tadi, kita satu tim” terang Indri buru-buru. Sepertinya Indri orang yang sangat rajin, pas sekali dengan aku yang malas. “Oh iya, kapan nih kita mulai kerja?” tanya gue sok serius, berharap Indri tidak tahu sifat malasku. Kamipun segera membuat agenda bersama.
            “Don, lu serius ngga sih ngerjainnya. Ini kerjaan lu berantakan banget” suara Indri meninggi dan sorot matanya menampakkan kekecewaan. “duh sorry banget Ndri, semalem gue sibuk banget jagain adek gue. Nyokap gue semalem lembur” jawabku asal. Aku merasa sedikit menyesal karena hanya mengcopy-paste tugas dari internet. “Ah lu gimana sih? Ya udah nanti gue rapiin sama tambahin deh. Oh ya, gue pinjem uang lu bisa? Buat cari bahan ini” jawab Indri masih dengan sorot mata kecewa. “Iya bisa, lu butuh berapa?” tanyaku santai. “Seratus” jawabnya singkat. Terkejut dengan nominal yang dia sebutkan, namun aku segera beri apa yang ia inginkan.
            “Ndri, tugas udah selesai belum?” tanyaku seminggu setelah agenda bersama. “Udah setengah si Don, gue dapet bahan lumayan banyak tapi modem gue mendadak abis kuota. Belum isi lagi nih. Bokek.” Jawab Indri panjang lebar. Indri anak yang rajin, tapi sepertinya ia orang yang keterbatasan. “Ya udah isi modem gih, nih gue kasih duitnya deh” ucapku sambil memberinya selembar uang. “apaan sih lu don, lu manfaatin gue ya? Lu cari juga dong” kata Indri sewot. Hatiku mulai ketar-ketir. “Iya Ndri, gue cari juga kok.” Jawabku malu.
            Sebulan tepat pengumpulan tugas yang diminta oleh Pak Lana, Indri belum juga kasih kabar. Akupun santai, sama sekali tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh Indri. “Don, ini tugas kita.” Indri menghampiriku dengan memberikan satu berkas. “Loh, nama gue kok ngga ada?” aku sangat terkejut dengan apa yang aku lihat. Berkas itu hanya bertuliskan nama Indri. “Lu kan ngga ngerjain. Lu manfaatin gue? Sorry gue ngga bisa dimanfaatin” jawab Indri ketus. “Indri tolongin gue lah, gue butuh nilai.” Aku memasang wajah memelas. “Haha gue punya kok cover yang ada nama lu, tapi syaratnya lu mesti bayar 500 ribu” Indri tertawa. Aku terkejut. “Lu matre banget sih” celetukku. “Terserah, lu manfaatin gue untuk nilai. Gue manfaatin uang lu. Kita impas.” Indri tersenyum penuh arti. Aku merogoh kocekku.

END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Namaku RISDHA



            Siang ini terik sekali Rangga, apakah disana kamu juga merasa panas? Ah pasti disana sejuk, kamu kan orang baik. Rangga, aku rindu sekali padamu. Sejak kepergian kamu, aku seperti daging tanpa tulang. Tak ada penopang. Andai saja kamu tidak meninggalkan pesan “Tetaplah hidup Risdha, untuk aku.” Mungkin aku sudah menyusulmu. 

            Rangga, aku ingin memberi tahumu sesuatu. Setiap pagi aku selalu terhibur oleh seorang lelaki. Dia pengamen, dia mirip kamu :’) Sayangnya pagi ini aku absen untuk melihatnya, ya ini kan hari minggu, aku libur. Entahlah Rangga, setiap melihat dia aku seperti melihat kamu. Cara dia bernyanyi, cara dia menghapus keringat bahkan cara dia menatap aku. Bodohnya aku, aku merasa setiap kali dia mengamen dia bernyanyi hanya untuk aku. Lucu sekali perangai aku, kalau ada kamu pasti kepalaku sudah kamu toyor deh :P

            Ini hari senin Rangga, aku melihat orang itu lagi. Eh pagi ini dia terlihat lebih kece daripada kamu, haha.  Rangga, kamu bisa kesini sebentar ngga? Kamu harus dengar dia menyanyi, dia sering menatap kearah aku padahal aku duduk dibelakang loh. Ah Rangga ayolah kamu percaya sama aku, kamu selalu deh meremehkan aku. Dengar Rangga, dia melantunkan 3 lagu khusus untukku. Aku yakin!

            Dia selesai juga ngamennya, dia menghapus keringatnya. Sama seperti kamu dulu. Dia selalu berterima kasih kepada semua penumpang bis ini, padahal ngga semuanya kasih dia saweran. Dia ramah banget, ngga kayak kamu yang jutek terus sama orang. Eh sekarang giliran aku yang disapa dengan “terimakasih”-nya dia. Aku melemparkan senyum tiba-tiba, seperti senyum ke kamu. Aku lihat mukanya merona merah. Aku jadi malu. Dia berdiri di dekatku, kebetulan penumpang penuh dan bis sedang melewati jalan tol.

            “Duduk sini mas” spontan aku menawarkan dia duduk disamping aku Rangga. Sepertinya aku sedang berkhayal bahwa dia adalah kamu. Wajah dia langsung berubah kaku, aku jadi merasa bersalah. “eh, iya makasih” akhirnya dia menjawab sama kikuknya dengan ekspresi wajahnya. Setelah menjawab dia tetap saja berdiri, matanya kosong. Apakah dia terpesona dengan aku ya Rangga? “Yah bengong aja, ntar kesambet aja” kataku berusaha ramah dan aku terkejut dengan gerakan tubuhnya yang begitu cepat duduk disamping aku. Kini perasaan aku semakin tidak karuan, wangi tubuhnya pun sama seperti kamu Rangga :’)

            Duduk bersebelahan dengan dia benar-benar menggoda aku untuk terus menginggat kamu. Segala yang ada di dia sama persis seperti kamu. Menit yang berlalu membuat canggung tercipta. “Udah lama mas ngamen?” tanyaku berusaha keluar dari canggung yang menyelimuti. “Eh baru sih, 3 bulan lah kira-kira” jawabnya dengan ringan, sepertinya dia sudah mulai tak canggung. Aku tersenyum. “Sering naik bis ini ya mba?” tanyanya seolah ingin mengenal lebih dekat. “Iya, berentinya pas di depan kampus sih. hehe” jawabku dengan nada seperti berbicara dengan kamu. Rangga, andai saja yang disebelahku ini adalah kamu.

            “Oh iya, mas suaranya bagus. Kenapa ngga nyanyi di cafe atau dimana gitu? Kan lumayan pendapatannya” kataku sambil terus menatap wajahnya, mencari celah diwajahnya yang berbeda dari kamu. “Ah bisa ngamen aja udah syukur mba. Masih mau belajar nih.” Jawabnya asal, semakin mirip kamu. Aku tak menemukan celah perbedaan kalian. Wajahnya terlihat memerah lagi. “Eh jangan panggil mba ah, aku kan masih muda. hehe” kataku canggung, wajah merahnya membuatku makin tinggi hati. “Eh iya maaf, emang namanya siapa?” tanyanya dengan semangat. “Risdha” jawabku singkat.

            Setelah hari perkenalan itu kami jadi sering melempar senyum ketika bertemu. Kami seperti teman akrab, aku sengaja duduk dibelakang supaya selesai dia mengamen kita akan duduk berdua dan ngobrol berbagai hal. Aku sering bercerita tentang kuliahku yang banyak tugas. Kadang juga aku cerita tentang adikku yang baru belajar berjalan. Hubungan kita semakin dekat saja, aku seperti menemukan kamu didalam dirinya.

            “Risdha, maaf. Aku sayang sama kamu” ucapan dia sangat mengejutkanku. Aku hanya terdiam. Jangankan menjawab, menatap wajahnya saja aku tak berani. Aku berada dalam lingkaran dilema. Aku tak mungkin menerima dia hanya karena dia mirip kamu. Terlebih aku tak mampu menolak dia, karena aku tak mampu melakukan itu ke kamu.  “Risdha?” panggilnya dengan ragu. “Eh iya mas, makasih” jawabku mantap. Mungkin hanya itu yang mampu aku lakukan terhadap dia, aku tak mampu mengganti kamu dengan orang lain. Dia tersenyum. Entahlah apa yang ada di dalam pikiran dia, yang pasti aku sangat berharap dia masih mau menjadi “hiburan” untukku. Setelah kejadian itu, kami tetap sering ngobrol dan tegur sapa. Sungguh Rangga dalam lubuk hati aku sangat tidak tega melihat sorot matanya yang ingin memilikiku. Rangga, jemputlah aku. Jangan biarkan aku terus menerus menjadikan orang lain untuk melepas rinduku padamu.

END


baca juga -> KLIK 


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :) 

Sunday, March 17, 2013

RISDHA-ku



            Panas terik tak boleh mematahkan semangatku untuk beraktivitas. Aktivitas yang mungkin tidak penting bagi kebanyakan orang. Namun ini penting sekali bagiku, mengamen. Aku memang bukan orang punya namun juga bukan orang kekurangan, aktivitas ini adalah hobby. Bernyanyi diantara banyak penumpang yang beragam, entah mereka terhibur atau terganggu. Setidaknya aku selalu berusaha untuk menghibur, karena tiap pagi akupun selalu merasa terhibur dengan melihat wajahnya :)

            Pagi tadi aku kecewa, karena aku lupa akan hari. Ya, ini adalah hari minggu. Wajah yang selalu aku nikmati disetiap pagi tak ada bila kalender merah. Ternyata wajah itu merupakan candu terhebat yang pernah ada, ia mampu memompa semangatku sampai sore. Lihatlah hari ini, masih siang saja badanku sudah meminta untuk pulang.

            Senin. Ah ini hari senin, lihatlah aku sudah rapi padahal matahari saja masih malu untuk keluar. Aku mengambil gitar andalanku dan memantapkan langkah kakiku keluar rumah. Menunggu bis yang sudah aku hafal jam operasinya dan tersenyum ketika bis itu datang. 

            Aku segera memulai dengan salam hangat sambil membuka mata lebar-lebar, mencari wajah yang telah menjadi canduku. YES! Aku menemukan wajahnya, dia berada dibelakang. Semoga saja suaraku sampai ditelinganya. Aku menyanyikan 3 lagu dengan sebaik-baiknya, berharap dia tahu bahwa lagu ini aku nyanyikan untuk dirinya.

            Selesai dengan memainkan pita suaraku akhirnya aku menyapa satu persatu penumpang untuk mengambil saweran seikhlasnya. Sampai dihadapannya, wajahku mulai memanas. Ia tersenyum. Aku meleleh. Aku berdiri didekatnya, kebetulan penumpang penuh dan bis sedang melewati jalan tol.

            “Duduk sini mas” tiba-tiba saja suara merdu itu mengalir ketelingaku. Aku kikuk menatap arah datangnya suara. “eh, iya makasih” jawabku kikuk. Aku tetap saja berdiri, tak kusangaka wajah yang menjadi canduku itu memiliki suara semerdu ini. “Yah bengong aja, ntar kesambet aja” suaranya terdengar menggoda, dan aku sangat amat tergoda. Tanpa menunggu, aku segera duduk disampingnya. Rasanya seperti mimpi.

            Beberapa menit kami hanya diam, aku dapat medengar degup jantungku. Entah, apakah diapun mendengar. “Udah lama mas ngamen?” tanya wanita itu yang segera membuyarkan lamunanku. “Eh baru sih, 3 bulan lah kira-kira” jawabku mencoba rileks. Ia tersenyum lagi. “Sering naik bis ini ya mba?” tanyaku mencoba mengakrabkan diri. “Iya, berentinya pas di depan kampus sih. hehe” jawabnya lembut, semakin terdengar merdu. “Oh iya, mas suaranya bagus. Kenapa ngga nyanyi di cafe atau dimana gitu? Kan lumayan pendapatannya” wajahnya berubah serius, menampakkan mimik wanita dewasa. “Ah bisa ngamen aja udah syukur mba. Masih mau belajar nih.” Jawabku asal. Wajahku semakin terasa panas. “Eh jangan panggil mba ah, aku kan masih muda. hehe” wajah itu terlihat malu-malu. “Eh iya maaf, emang namanya siapa?” kali ini percakapan seperti sudah diluar kendaliku. “Risdha” jawabnya singkat.

            Setelah hari perkenalan itu kami jadi sering melempar senyum ketika bertemu. Kami seperti teman akrab karena Risdha sering sengaja duduk dibelakang supaya selesai aku mengamen kita akan duduk berdua dan ngobrol berbagai hal. Ia sering bercerita tentang kuliahnya yang banyak tugas. Kadang cerita tentang adiknya yang baru belajar berjalan. Hubungan kita semakin dekat saja sampai rasa ingin memiliki menghampiriku.

            “Risdha, maaf. Aku sayang sama kamu” kataku dengan mantap. Risdha hanya terdiam, jangankan menjawab. Menatap wajahku saja tidak. Aku mulai bingung. “Risdha?” panggilku ragu. “Eh iya mas, makasih” jawabnya mantap. Aku hanya tersenyum. Entahlah apa yang ada di dalam pikiran Risdha. Setelah itu kami tetap ssering ngobrol dan tegur sapa, namun sayangku hanya dibalas ucapan terima kasih. Hanya itu. Namun aku sudah cukup bahagia, karena aku bisa berinteraksi dengan wajah yang telah menjadi canduku itu.

END


baca juga -> KLIK


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)