Friday, October 19, 2012

langit

Aku memegang kertas putih, kau bilang hitam
Aku memegang kertas hitam, kau bilang putih
Semua terbolak balik terbalik bolak
Apakah kita memilki langit yang sama?
Ataukah langit kita memang tak pernah sama?

*dengan air mata dan deru jantung tak terkendali, dan kau tetap bisu*

satu

Kamu itu satu
Tak pernah jadi dua apalagi tiga
Kamu itu satu
Namun mengapa kini terasa semu
Kamu itu satu
Tapi gambarnyaterlihat dua
Kamu itu satu
Aku harap kamu tetap jadi satu

Tuesday, October 9, 2012

Hilang

Menjadikan kamu pacar aku? Mungkin aku bisa, namun waktunya saja yang belum tepat. Terkadang aku lucu sendiri melihat perilaku kamu yang seperti ketakutan. Mengejar dan terus saja mengejar aku, padahal kamu wanita yang sejatinya layak di kejar.

***

      Kuliah lagi, kuliah lagi. Rasanya bosan sudah melingkupi isi otakku dan membuat langkah kakiku gontai. “Lemes banget mas jalannya?” kata wanita berbaju biru di depanku. “Bosen” jawabku acuh dan tak mau melihat wajahnya. “Semangat dong, kan Vani jadi ikut lemes kalo liat Kevin lemes” katanya lagi dengan wajah dibuat sedih. Ekspresi yang sangat lucu dan mengocok perut, sayangnya aku hanya mampu memberi tatapan sinis dan membunuh. Wanita berbaju biru itu akhirnya pergi, namun bukan berarti menyerah.

     “Kevin, udah dapet jurnal yang bagus belum? Vani dapet dua nih, pilih aja mau yang mana?” tiba-tiba dia datang lagi dengan tumpukan kertas yang masih panas. “Gue udah dapet kok Van” berbohong, aku berbohong hanya untuk membuatnya pergi dan tidak mengganggu aku. “Tentang apa? Ini materinya pas banget sama hobby Kevin loh, dibaca aja dulu” ia terus memaksa. Aku menatapnya dengan pandangan yang tak mampu aku artikan. Kami diam lama dan hanya saling tatap. Wanita itu mendesah kemudian menaruh tumpukan kertas panas itu di mejaku dan pergi. Aku terpaku dan membisu. 

     Jahat. Aku memang jahat kata kebanyakan orang. Namun mau bagaimana lagi, aku jahatpun tetap saja wanita itu terus dan terus mengejar seolah laki-laki di dunia ini hanya aku. Sebagai wanita seharusnya dia malu, seharusnya dia lebih banyak mengahbiskan waktunya untuk memperbaiki diri agar nantinya akan ada lelaki yang mengejarnya. Dunia ini memang sudah terbalik.

    Seminggu belakangan wanita itu berubah. Walau perubahannya tidak drastis namun rasanya perubahan dia semakin terlihat. Terlebih lagi kini dia sudah mulai berteman dengan lawan jenis, ini merupakan perubahan paling hebat yang aku lihat. Sesekali aku seperti merindu, mengenang dan merintih sesal. Aku rindu senyumnya dan semangatnya ketika menawariku bantuan. Aku rindu wajah kecewanya ketika aku yang terus dan terus menolak bantuannya. Apakah ini rindu? Atau hanya sebersit rasa sesal?


                Bagaimana endingnya?  *cerpen gagal* :D

nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Monday, October 8, 2012

Hujan

Hujan sore ini merupakan pertanda bahwa salah satu tempat di sudut hati kita terluka dengan adanya perpisahan ini. 

***

Panas terik matahari di bilangan salemba menusuk kulit sampai perih aku rasa. Peluh menetes satu dua sampai warna bajuku berubah pekat. Roda itu berputar mendekat, akhirnya bis yang aku tunggu datang dan mengangkutku masuk ke dalamnya.

Aku menatap jalanan dengan hati lega, panas yang tadi aku rasakan sudah berkurang terbasuh angin dari AC bis patas ini. Mataku berkeliaran, melihat hiruk pikuk Jakarta yang sangat sibuk tanpa memperdulikan peluh yang terus menerus menetes di dahi. Lamunanku kembali pada memori sekitar setengah jam yang lalu, ketika kamu akhirnya mengetahui sesuatu.

“Netti, kamu pulang hari ini?” sapa Abi dengan berlarian kecil menghampiri aku. “Iya bi, kenapa? Mau bareng? haha” candaku memancing-mancing. Ah, aku memang terlalu liar. Aku seperti menutup mata, melupakan keberadaan tunanganku. “Boleh deh Net, tunggu aku sebentar ya” angguknya. Aku mematung, memandangi punggung Abi yang menjauh. Entah bagaimana aku harus mengatakan perasaan yang aku rasakan saat ini, seperti ada desiran angin menggoda bibir untuk tersenyum. Bahagia.

Aku berjalan seperti menghitung langkah, canggung justru hadir dari dalam diri aku. Payah sekali, aku mengutuk adanya getaran yang merambat dari jantung ke seluruh tubuhku. “Net, kamu kapan nikah? Umur udah banyak juga” Abi memulai perbincangan. Aku membisu beberapa saat. “Ah kamu duluan aja bi” jawabku sebisanya. “Wah aku mah belum ada modal, belum ada calon juga” ucapnya sambil menatap mataku dalam. Aku kembali menghitung langkah, mungkin ini waktunya aku menyudahi rasa yang tidak layak ini. “Aku sih calon ada tapi kan butuh modal juga” jawabku mantap namun hatiku berdegup kencang. Aku beranikan diri melirik Abi, ia menunduk dan terlihat seperti menghitung langkah. Keheningan menyelimuti kami berdua yang hanya mampu menghitung langkah.

“Kamu langsung pulang bi?” tanyaku takut-takut. “Eh, ngga Net aku mau ada urusan dulu” jawabnya canggung, seperti orang yang baru tersadarkan bahwa kakinya masih menapak di bumi. “Cieee Abi mau ngapel rumah cewek ya? haha” candaku mencoba mencairkan suasana. “Ah ngapel siapa? Kamu kan udah punya calon. haha” Abi tertawa, namun terdengar getir. Aku mencoba tertawa sebisanya “Bisa aja kamu bi, kalo jodoh mah ngga akan kemana.”

Lamunanku tersadar ketika ada seorang lelaki paruh baya duduk di sampingku. Mataku kembali berkeliling mengamati jalanan. Bis sudah sampai di bilangan Jakarta Selatan, rintik hujan sedikit demi sedikit mulai turun. Mataku basah, wajahku memerah. Aku memejamkan mata sejenak kemudian mengamati rintik hujan yang menggelayut di sisi jendela. Ponselku berbunyi, aku melihat nama Abi disana. Dengan sigap tanganku membuka pesan yang dikirimnya “Kalau jodoh ngga akan kemana, semoga kamu adalah jodohku” Bendungan di kelopak mata tak mampu aku tahan lagi, bulir air mengalir deras di pipi merahku. Aku menatap trotoar jalanan, terlihat seorang wanita menari seperti robot di tengah hujan. Anak-anak kecil mengejeknya “orang gila”. Aku dengan wanita itu mungkin memiliki kesamaan, merasakan kesakitan batin.

***

Hujan sore ini merupakan pertanda bahwa salah satu tempat di sudut hati kita terluka dengan adanya perpisahan ini. Rintik hujan ini sedang mencoba membasuh pemilik hati yang sedang terluka.




END



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)