Tuesday, September 25, 2012

it

Saya sakit
Rasanya seperti melilit
Ruangan mendadak sempit
Bernafas saja sulit
Saya tahu ini bukan penyakit
Namun deru jantung semakin melejit
Semoga saja ujungnya tidak cepirit

Thursday, September 20, 2012

Penjagamu

mungkin aku takkan bisa menghadirkan kemilaunya
bintang yang terang bersinar kepadamu
mungkin aku takkan mampu menciptakan keindahan
lukisan tentang kehidupan seperti yang kau inginkan

tapi aku penjagamu yang kan selalu di sisimu
takkan jatuh air mata, takkan pernah kau kecewa

mungkin aku takkan bisa menuturkan keindahan
bagai sabda sang pujangga yang damaikan relung jiwa

tapi aku penjagamu yang kan selalu di sisimu
takkan jatuh air mata, takkan pernah kau kecewa
tapi aku penjagamu yang kan selalu di sisimu
takkan jatuh air mata, takkan pernah kau kecewa



(OST Test Pack) *Filmnya kereeen, beliin gue novelnya pleaseeee* :9

Saturday, September 15, 2012

KAPTEN



Terima kasih tuk luka yang kau beri. Ku tak percaya kau tlah begini.

***

          Aku melihatmu dengan pandangan bangga, bahagia karena kamu telah mencapai cita-citamu yang dulu hanya semu. Siang dengan matahari yang sangat terik tidak membuat kamu terlihat panas dan lelah, kamu sang kapten yang hebat.

          Awal aku melihat kamu di pojok kelas sendirian, aku mulai tertarik. Walau masih di awal masuk sekolah menengah atas, aku beranikan mengajakmu berkenalan sampai akhirnya kita dekat. Kamu orang yang sangat minder, tidak berani mengeluarkan potensi padahal potensimu sangat besar.

          “Sebenearnya aku suka sekali main basket, tapi aku tidak ingin bergabung dengan ekskul basket” katanya waktu itu. “Kenapa? Aku pikir bakat kamu ada Feb” kataku mencoba menyemangati. Kamu tetap saja minder, takut dan sebagainya. Aku yang merasa kasihan dengan keadaan kamu, akhirnya aku mendaftarkan nama kamu di ekskul basket. Awalnya kamu sangat marah namun akhirnya kamu mau mencobanya, aku sangat senang dengan kabar baik itu.

          Satu tahun berteman baik akhirnya kita menjalin hubungan lebih dari teman, sesuatu yang sangat menyenangkan. Dunia seolah hanya milik kita. Bahkan saat kelas 2 posisi kamu sudah menjadi tim inti ketika bertanding basket dengan sekolah lain. Aku sangat bahagia, sesekali kamu mentraktir aku dengan uang hasil kemenangan kamu bertanding basket.

          “Febri, uang hasil kemenangan kamu kasih sedikit ke mama kamu yah” bujukku saat kamu mentraktir aku. Kamu selalu menolak, kamu merasa mama kamu adalah wanita yang tidak pantas di perlakukan dengan baik. Kamu selalu bilang mama kamu adalah perempuan murah yang rela meninggalkan papa demi laki-laki lain yang lebih kaya. Segala usaha aku selalu memaksamu untuk berbuat baik pada mamamu sampai akhirnya kamu luluh. Aku sangat senang ketika kamu menggunakan setiap nasehat aku. Aku tak mampu memberikan sesuatu apapun padamu, hanya nasihat kebaikan yang mampu aku berikan kepadamu.

          Kini kita sudah masuk kelas 3, tanpa di sangka kini kamu menjadi bintang di sekolah. Kamu menjadi kapten basket, semua orang menyukai kamu. Aku senang sekali. “Nabila, terima kasih ya. Karena kamu aku bisa menjadi kapten, dan kamu juga selalu menasehati aku untuk baik sama mama. Terima kasih kamu sudah menjadi malaikat untuk aku.” Pujian yang sangat membanggakan, aku sangat bahagia kamu menyebutku sebagai malaikat. Terdengar berlebihan untuk seorang perempuan yang tidak pernah memberikan sesuatu apapun pada pacarnya, namun pujian itu sangat tulus dan mampu membuatku menangis bahagia.

          Sebagai kapten basket, kamu semakin sibuk. Banyak sekali agenda kencan kita yang harus kita batalkan karena kesibukan kamu. Aku mencoba mengikhlaskan dengan lapang dada. Sesekali kita bertengkar karena kamu kelelahan dan melupakan janji. Sering sekali kita berkelahi karena kamu mendadak membatalkan janji kita. Dan semenjak menjadi kapten kamu berubah. Aku kamu paksa untuk sabar dan terbiasa ketika kamu di kelilingi wanita-wanita cantik. Terlalu banyak wanita yang menyukai kamu dan berlomba ingin dekat dengan kamu.

          “Nabila maaf, hari ini aku tanding dan kamu kayaknya ngga usah dateng deh. Daripada kamu nanti merasa aku cuekin gara-gara aku ngurusin fans aku” ucap kamu sepulang sekolah. “Febri, aku in pacar kamu..” ucapku dengan iba, namun aku hanya mampu mengangguk pasrah karena kamu harus segera berangkat menuju lokasi.

          Aku berada diantara penonton yang berdesakan. Aku hanya ingin melihatnya bertanding, tidak lebih. Aku ingin menyaksikan kekasihku, sang kapten yang gagah memenangkan lombanya. Ada kebanggaan tersendiri di dalam diri aku untuk menyaksikan kemenangan kamu, namun aku sangat terkejut ketika melihat seorang wanita yang segera memelukmu sangat mesra seusai pertandingan. Siapa dia? Kamu juga dengan gamblang mencium keningnya, memeluknya sangat erat.

          Aku tak mampu untuk berdiam diri, aku menghampirinya “Febri, siapa dia?”. “Nabila, kamu kenapa aa di sini? Eee... dia.. dia..” kamu tidak mampu menyelesaikan kalimat kamu. Tak mampu aku menahan air mata yang mentes dipipiku. “Kamu jahat Febri..” aku menangis sejadinya. “Nabila tolong lah, aku ini sekarang di cintai banyak wanita. Masa salaah kalau aku punya pacar lebih dari satu? Masih mending kamu tidak aku tinggalkan” jawaban kamu sangat menusuk jantungku, aku meninggalkan kamu tanpa peduli lagi apa pun tentang kamu.

***

Terima kasih tuk luka yang kau beri. Ku tak percaya kau tlah begini.

END



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

CANDU




Mempertemukan fokus retina mataku ke lekukan wajahmu merupakan asupan khas yang menjadi candu.

***

          Semilir angin malam kembali menusuk-nusuk tulangku. Sekuat tenaga aku memeluk badanku sendiri tetaplah terasa sangat dingin. Dingin yang bukan hanya berasal dari luar, namun juga dari dalam. “Melamun saja kamu Bel?” sapa ayahku di antara suara nyanyian jangkrik dan teriakan burung cabak. “Sedang menunggu inspirasi untuk seminar besok yah” jawabku sambil mengusap tangan ayah yang dingin, sangat dingin. “Besok kamu berangkat bareng Pratama?” tanyanya lagi dengan pandangan kosong. “Iya yah, tadi mas Pratama sudah menghubungi Bella” jawabku sekenanya. Keheningan menggelayuti suasana diantara kami. suara nyanyian jangkrik dan teriakan burung cabak pun tidak terdengar lagi, seolah mereka ikut menggelayuti keheningan. 

          “Nasi goreng nasi goreng” teriakan tukang nasi goreng memecah keheningan. “Ayah mau nasi goreng?” tanya ku penuh perhatian. Ayah hanya menggeleng kemudian masuk kedalam rumah. Udara memang sangat dingin, menusuk tulang tanpa melihat mangsanya. Aku dengan hati-hati keluar gerbang dan memesan sepiring nasi goreng kesukaanku. “Satu porsi ya bang” ucapku sambil bergelayut di daun pintu gerbang. “Siap neng, udah nunggu daritadi ya?” ucapnya nakal, seperti biasa. Aku menahan senyum, aku sangat menikmati setiap lekukan wajahnya bahkan setiap bulir keringat yang menggelayut di dahinya membuatnya semakin terlihat menarik. “Ayahnya ngga sekalian neng?” tanyanya dengan wajah yang semakin manis, entah dia sengaja menggoda atau memang aku yang sudah terlanjur menyukainya. “Oh ayah udah makan” jawabku dengan sedikit grogi.

          Aku menyantap nasi goreng dengan sangat lahap, dia menemaniku sambil menunggu piringnya. “enak neng?” pertanyaan yang sangat mengundang untuk ku puji. “Kurang asin bang, haha” jawabku penuh semangat, semangat karena harapan dia aku patahkan. “Kurang asin? Wah neng mau kawin kali jadi senengnya yang asin-asin, haha” jawabnya meledek. Sial, ucapan dia seperti petasan yang meledak tepat di jantungku. Aku sangat terkejut. Apakah dia tahu sesuatu tentang aku? “Neng, jangan pucet gitu. Saya juga pengen kawin neng kalo neng mau sama penjual nasi goreng kayak saya. Haha. Bercanda loh neng..” ledeknya semakin menjadi. Aku keringat dingin, aku tak mampu berbicara, bergerak pun sulit.

***

          “Pagiii” suara yang sangat khas terdengar di depan pintu, aku bergegas. “Pagi mas Pratama, mau masuk dulu?” sapaku dengan penuh mesra, mungkin sebenernya lebih ke ‘sopan’. Mas Pratama meraih tanganku kemudian dia kecup lembut, sayangnya aku tidak merasakan desiran apapun di hatiku. Aku menarik tanganku sambil tersenyum tipis dan mempersilahkan mas Pratama duduk. Ayah datang dan segera memeluk erat mas Pratama “Hei, terima kasih sudah mau menjemput anakku” sapa ayah sangat riang. “Sudah kewajibanku pak, haha” jawabnya sama riang. Aku membawakan kopi hangat untuk mas Pratama, ia segera menyeruputnya dan meminta izin segera berangkat. Kami pun pergi meninggalkan ayah sendirian.

          “Kamu masih grogi untuk seminar nanti Bel?” tanyanya sambil menggenggam tanganku. “Sedikit mas” jawabku seadanya. “Tenangkan dirimu Bella, kan ada aku” kini tanganku ia dekap di dadanya. Spontan aku menariknya. “maaf mas” kataku. Suasana menjadi hening, sopir mas Pratama masih fokus menyetir tanpa mengganggu semua keheningan yang ada.

          “Seminar kamu baik sekali Bella, ayo kita rayakan dengan dinner romantis di restoranku” pujinya padaku. Aku senang mendapat pujian dari mas Pratama karena dia adalah orang berkelas, pasti pujiannya dia sudah pikirkan berkali-kali sampai akhirnya bisa diucapkan segamblang itu kepadaku. “Terima kasih mas, aku senang sekali. Semua juga karena dukungan mas. Hmm.. tapi saya ingin merayakan ini dengan ayah dirumah mas” jawabku dengan senyum yang tiada habisnya. “Baiklah, ayo kita pulang kerumahmu” ajaknya dengan merangkulku, untuk saat ini aku tidak menolaknya. Biar bagaimanapun dia tetap seorang ‘calon suami’ bagi aku.

          “Ayahhh” teriakku sesampainya dirumah. Aku merangkul ayah dan ayah mengucapkan selamat yang tiada habisnya. Mas Pratama duduk santai dan menikmati drama indah antara aku dan ayah. Suasana yang sangat menyenangkan.

          “Kamu hebat Bella, sebagai anak satu-satunya kamu telah membahagiakan ayahmu” percakapan kami dimulai, kami duduk santai di teras rumah selayaknya sepasang kekasih. “Terima kasih mas, semua juga atas bantuan mas” ucapku penuh rasa terima kasih. “itu sudah kewajibanku Bell, sebentar lagi kan kita akan menjadi keluarga” ucapan mas Pratama seperti sengatan listrik tegangan tinggi.

          “nasi goreng... nasi goreng..” suara tukang nasi goreng membuat hatiku tenang kembali. “Mas mau nyobain nasi goreng? Enak loh” dengan cepat dan semangat aku menawarkan nasi goreng kesukaanku. Mas Pratama hanya mengangguk, aku cukup terkejut dengan reaksi mas Pratama. Nasi goreng pinggir jalan untuk orang berkelas seperti mas Pratama? Ya sudahlah, yang penting aku punya kesempatan untuk melihat lekukan wajah yang sudah menjadi candu di setiap malamku. “Bang dua porsi ya..” pesanku dengan wajah riang. “Wah lagi bahagia banget nih neng” katanya sambil meracik nasi gorengnya. Aku tersenyum senang. “Berdua sama siapa tuh neng? Temennya ayah neng? Apa om?” pertanyaan yang menghancurkan seluruh senyum dan bahagia aku malam ini. “Dia..” ucapan yang tak mampu aku teruskan. “Bella sayang, masih lama nasi gorengnya?” tiba-tiba mas Pratama datang dan merangkulku. Aku terpaksa tersenyum “Bang, ini calon suami aku. Kenalin namanya mas Pratama. Mas, aku langganan makan nasi goreng abang ini. haha”. Akhirnya semuanya terbongkar, seulas senyum kecut terlihat di lekukan wajah itu dengan balutan bulir-bulir keringat yang menetes perlahan.

***

Asupan khas itu masih tetap menjadi candu, namun kini candu yang tak mampu aku nikmati dengan bebas. Ada seorang ‘Om’ berstatus ‘suami’ disampingku.

END



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Friday, September 7, 2012

STATUS


Kemarin pandangan mata kamu nakal, namun aku menikmatinya. Status? Siapalah yang peduli..

*** 

Angin malam minggu ini sangat menusuk tulang. Pori-pori kulit seperti melebar hingga seluruh rasa dingin mulai merajalela menyiksa kulit. Aku masih saja setia duduk termangu menunggumu. 30 menit sudah kursi kayu ini aku bebani dengan berat badanku yang sudah mulai meningkat.

“Tyo.. sudah lama? Maaf tadi ada sedikit masalah di kampus” sapanya setelah memperlihatkan wajahnya yang teduh dan rambutnya yang sedikit berantakan. Tangannya menaruh helm di salah satu kaca spion motornya. Standar mulai ia tarik dengan kakinya, kini motor dan penghuninya sudah bergaya layaknya iklan-iklan di televisi.
“Baru kok, mau makan apa nih Ger?” ucapku berbohong. Separuh dari otakku tak mampu bekerja dengan baik. Wajahnya dan aroma tubuhnya mampu membiusku dengan seketika.
“roti bakar eddy aja yuk. hehe” katanya dengan senyuman terbaiknya. Hampir saja aku lupa bernafas karena meliat sunggingan bibirnya itu. Aku mengangguk setuju dan mencomot helm yang sudah Geri siapkan. 

Gery memesan dengan cepat, dari raut wajahnya terlihat ia sudah sangat kelaparan. Aku hanya memperhatiakn wajahnya yang tidak henti memancarkan cahaya keindahan. Andaikan saja dia... ah sudahlah. Mungkin nanti pulang dari makan, atau besok, atau minggu depan. Aku yakin ia pasti akan mengatakannya kepadaku.

“Tyo? Bengong aja lu? Ngga makan?” ucapannya mengejutkanku secara seketika. “laper gue ilang mendadak masa, haha” aku tertawa sebisanya. Matanya mulai menatapku dengan pandangan yang sangat sulit aku jelaskan “jangan bilang lu kenyang gara-gara liat muka gue? haha”. Kami tertawa. Tanpa sengaja air minumku terjatuh dan mengenai seorang wanita berbaju merah yang berjalan menuju pintu keluar. “aduuhh ini parah banget deh” kata wanita itu merusak segala keindahan yang sejak tadi aku nikmati. “maaf-maaf” Gery dengan cepat meminta maaf dengan wajah sangat memohon. Aku sampai terdiam beberapa lama. “Hah payah banget” wanita itu meninggalkan kami dengan cepat sambil memanyunkan bibirnya, memperlihatkan betapa kecewanya dia. Gery menyusulnya, aku semakin terdiam. Harusnya aku yang melakukan itu semua, namun mengapa Gery yang harus melakukan itu untuk aku?

Beberapa menit aku menunggu akhirnya Gery kembali lagi. “Gimana Ger? Maaf ya gara-gara gue..” belum selesai aku berbicara Gery sudah melemparkan senyumnya “udah santai, beres ama gue masalah kayak gitu aja. hehe”

*** 

“Mau makan kemana nih kita malem ini? Minggu kemaren udah roti bakar, hmmm” ucapku setibanya Gery dihadapanku. “hmm malem ini ngga bisa nemenin lu nih gue, maaf banget ya yo. Gue udah ada janji” jawabnya agak kikuk. Aku terdiam sejenak, ada apa ini?
“oh gitu, ya udah. Emang lu ada janji ama siapa?” tanya aku dengan rasa ingin tahu yang besar sekaligus rasa takut. Dia terdiam. Rasa ingin tahuku berkurang drastis. Kini yang mendominasi perasaanku adalah takut. Sangat takut. 

“Biasa yo anak muda, mau jalan ama pacar baru. hehe” ucapnya berlagak santai. Seolah tidak ada hati yang hancur. Seolah semua memang tak pernah ada apa-apa. Seolah memang inilah akhir yang seharusnya aku tunggu dari dulu. Kehancuran.

“Anak mana cewek lu? Wah ngga bilang gue..” jawab ku sebiasa mungkin. Menutupi segala luka, menutupi segala hancur dan menutupi atau lebih tepatnya mengubur segala harapan.
“nanti deh gue ceritain, lu tau kok orangnya. Hehe jadi malu nih gue.. yang minggu kemaren kita bikin marah yo” jawabnya malu-malu. Ia seolah tidak tahu atau memang tidak tahu? Atau memang rasa ini hanya milik aku sendiri?

“hah? Cepet banget Ger gerakan lu” reaksi spontan lebih kepada tidak menerima akan kenyataan ini, secepat itu? Sedangkan aku sudah hampir tahunan menanti.
“nanti lah gue ceritain, gue cabut dulu yaa. daahh” pamitnya dan segera pergi meninggalkanku dengan kesakitan.

*** 

Kemarin pandangan mata kamu nakal, aku menikmatinya namun tatapan itu bukan milikku. Itu milik wanita berbaju merah. Status? Aku hanya pajangan usang yang akan dipilih ketika pajangan elok yang lainnya habis terpakai.

END



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)