Thursday, August 23, 2012

STELLA


                Lembayung senja di ufuk mulai bergerak-gerak. Angin pagi yang menusuk tulang membuat manusia bertahan di dalam kamarnya. Namun tidak begitu bagi Stella, ia sudah berada di taman. Menangis dan terus menangis. Seolah air matanya tidak akan pernah habis. Sepanjang pagi ia terus bertahan dengan posisinya, duduk bersila di petakan rumput hijau. Dari sepi hingga ramai dengan remaja-remaja yang berlari pagi.

“Astaga, Stella?” sapa seorang lelaki berkaos hijau dengan bulir-bulir keringat yang menghiasi wajahnya. “Ini masih pagi, kamu kenapa?” dia melanjutkan kata-katanya dengan sangat iba.
“Biarin Stella disini Kak, perasaan aku hancur” ucapnya dengan isakan yang tidak berubah.
“Oke. Kakak tunggu kamu sampai selesai nangis. Setelah itu kakak minta kamu cerita. Jangan nolak! Kakak ngga terima kamu di katain gila” ucap lelaki itu tegas. Stella hanya diam, masih terisak namun lambat laun mereda. Memang hanya ini yang di butuhkan Stela, seorang teman.
“Kak Sony.. Aku sakit kak. Sakiiiitttt” ucap Stela terbata.
“Kenapa? Siapa yang membuat kamu sakit?” tanya Sony dengan menatap mata Stella dalam, sangat dalam.
“Ayah” jawab Stella singkat. Keheningan terjadi beberapa saat. Sony terdiam, dia sudah tahu inti permasalahannya. Sony hanya menunggu Stella melanjutkan ceritanya.
“Kemarin ulang tahun Ibu. Aku sudah siapkan kejuatan untuk Ibu... kue, hadiah dan pesta besar. Aku menelfon Ayah, ayah bilang pasti datang jam 7. Aku menunggu kak. Jam 7 Ayah belum datang juga, jam 8... 9... 10 .. terus berlanjut sampai pagi ini kak. Aku sakit kak..” tangis Stella yang mereda kini meledak lagi. Sony hanya diam namun ia meraih tubuh Stella. Ia memeluk Stella tanpa peduli pandangan orang-orang. Saat ini yang terpenting bagi sony adalah membuat Stella tenang.

*** 

                “Mata apa bola pimpong itu? hahaha” ledek Dira saat melihat Stella masuk kedalam kelas. Stella hanya diam. “Main yuk, dosen kita ngga dateng lagi nih” lanjut Dira. Stella manyun. “Magabut banget deh itu dosen, mau kemana kita?” tanya Stella pasrah dengan ajakkan Dira. “Main ke kampus sebelah yuk, gue mau ketemu si Kak Sony yang super ganteng itu looohh” ajak Dira dengan mata genit yang berkedip-kedip lebih mirip kucing kelilipan. Stella tertawa sampai memegangi perutnya namun badannya sudah keburu tertarik oleh rangkulan Dira yang tak mampu ia tolak. 

                “eh lu naksir orang yang bener aja, Kak Sony itu udah punya tunangan tau” ucap Stella yang masih tak berdaya di dalam rangkulan Dira. “Gue Cuma fans kali, lu tuh kali yang naksir. haha” ledek Dira. Stella terdiam, tanpa sadar langkahnya terhenti dan membuat Dira jatuh terselungkup.
“Ya ampun Dira hati-hati kalau jalan” suara Sony tiba-tiba. Dira dan Stella shock. Nafas mereka naik turun, beradu dengan degup jantung yang berpacu. “Loh, kok jadi pada diem sih?” ucapan Sony seperti bom yang mengejutkan Dira dan Stella. Mereka segera sadar dan Dira secepat kilat berdiri dan membersihkan debu-debu yang mengotori baju maupun jeansnya. “Eh iya kak, makasi buat tadi pagi” kata Stella malu-malu. “Oh tadi, sudah tidak apa.” Sony menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kejadian tadi pagi ketika Sony memeluk Stella mulai terbayang lagi dalam otak Stella maupun Sony. Dira yang tidak mengerti hanya menjadi penonton saja. “Eh iya, kalian ada apa kesini?” tanya Sony memecah kesunyian. “mau numpang ke perpus kak, perpus kita kan bukunya sedikit. hehe” jawab Dira asal. “Oh gitu, ya sudah kakak duluan ya. Kebetulan ada urusan” pamit Sony dan membuat dua wanita di depannya kecewa berat. “Mau ngurus pernikahan ya kak?” spontan Stella menanyakan hal yang justru paling menyakitkan bagi dirinya sendiri, mungkin bagi Dira juga. “ah kamu bisa saja Stel, ya sudah kakak duluan ya” Sony segera menghilang dari pandangan mereka berdua. Dua wanita itu hanya termangu. 

                “Stell, lu naksir kak Sony kan?” todong Dira. Matanya menatap mata Stella dalam-dalam. “Ah apaan sih Dir, lu kali tuh yang naksir” jawab Stella salah tingkah. “Kalo lu suka, kenapa lu ngga bilang sih?” Dira sudah seperti wartawan yang menodong Stella dengan pertanyaan-pertanyaannya. “Menurut lu, perasaan ini layak? Bagi gue ini Cuma perasaan bodoh yang pernah ada Dir” jawab Stella jujur, sangat jujur. “Astaga Stel, kalo aja lu ada keberanian. Lu sama kak Sony pasti jadi. Gue yakin Stel. Mata Kak Sony tadi keliatan kalo dia juga ada rasa sama lu.” Ucap Dira kesal. “Heiii, lu ngga lagi cemburu sama gue kan? Haha udah lah Dir, gue ngga mungkin sama kak Sony. Biarin perasaan ini gue tanggung sendiri” jawab Stella pasrah.

                “Stell, gue Cuma ngefans sama kak Sony. Ngga lebih. Tapi tadi mata lu sama matanya kak sony itu memancarkan cahaya yang sama. Gue tau banget deh lu berdua saling cinta” ucap Dira mulai serius. Stella termangu, menopang dagunya dengan kepalan tangannya. “Lebih baik satu hati yang sakit daripada dua hati, lu dan kak Sony sakit Cuma buat tunangannya kak Sony? Ini ngga adil Stel” lanjut Dira. Dalam benaknya tidak habis fikir ada orang seperti Stella dan kak Sony. Saling cinta namun merelakannya begitu saja. “Lu salah Dir. Bukan Cuma hati tunangannya kak Sony aja yang di jaga. Tapi ada keluarga kak Sony, keluarga Tunangannya. Banyak Dir.. Sama seperti ayah gue... ketika dia lebih memilih wanita itu, yang sakit bukan hanya ibu, tapi gue juga. Seluruh keluarga ibu juga. Semuanya sakit Dir. Sakiiiit” Stella terisak. Hatinya hancur. Entah hancur karena apa. Saat ini yang ia rasakan hanya sakit. Sangat sakit. “Sorry Stel, gue ngga maksud. Semua pasti akan indah pada waktunya Stel.” Dira memeluk Stella yang terus terisak, seolah air matanya tidak akan habis.

*END*


nb : untuk Stella di seluruh dunia, hidup ini pasti akan berakhir indah. pasti. salam cinta dari aku :) 


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Sunday, August 12, 2012

menunggu



Setelah sekian lama akhirnya aku bisa melihatmu lagi. Ketika keadaan yang sudah berbeda, parasmu yang berbeda dan apakah rasa yang berbeda juga? ~

***

            “Hei Shel, kemana aja lu baru keliatan?” sapa Deni ketika mendapati aku yang berdiri mematung di depan pintu kantor lamaku. Aku masih saja menikmati setiap detail ruangan kantor yang sama sekali tidak berubah sejak aku tinggal. “Eh iya Den, baru sempet jenguk kalian nih, hehe” jawabku asal. Aku mendapati seseorang di pojok kanan tanpa berkedip melihatku, aku melemparkan senyum tanpa ragu. Lebih tepatnya, aku tersenyum spontan. Tidak ada yang memerintahkan, semuanya terjadi akibat gejolak yang telah lama terpendam di dalam dada.
            Perlahan aku mulai berjalan memasuki lorong kantor yang padat namun terlihat sangat nyaman. “apa kabar.. Shidiq?” ucapku terbata. Ada hangat yang aku rasakan di pipiku. “Baik Shel, tumben kamu kesini?” jawabnya santai. Wajahnya sudah berbeda sekarang. Dia sudah lebih rapi dibanding dahulu. Seperti sudah ada yang mengurus...dan rasanya aku kesulitan mengatur nafasku. “Iya nih, baru sempet pulang cepet dari kantor terus kangen sama kantor ini. hehe” ucapku sedikit gemetar. Aku merasa ada angin yang berhembus dan dalam sekejap badanku di kagetkan dengan tinju pelan khas Deni. “Kangen kantor apa kangen Shidiq? hahaha” ucapnya asal. Dari dulu sampai sekarang Deni tidak pernah berubah, selalu jahil. Aku hanya mampu terkekeh sebisanya.
            “Shel, udah lama dateng? Ih ngga bilang-bilang” tiba-tiba Shira datang menyapaku. Aku segera memeluknya erat. “Iya Shir, aku juga dadakan. Mumpung pulang cepet dari kantor. Hehe udah pada mau balik ya?” ucapku sambil tetap mencuri pandang ke arah Shidiq. Aku masih kesulitan untuk mengatur nafasku. Ruangan berAc seperti ini saja aku merasa sedikit berkeringat. “Iya Shel, kita dari kemaren lembur. Makanya sekarang mau pulang cepat. Suami gue kasian Shel. hehe” canda Shira kepadaku. Aku hanya mampu mencubit lengannya yang gemil.
            “Shel, rumah lu masih di Kota? Bareng Shidiq aja, kan searah” kata Deni membuatku semakin merasa panas. Pipiku pasti sudah sangat merah dibuatnya. Aku tersenyum malu. “Iya Shel, bareng aja” tiba-tiba Shidiq bersuara. Aku terkejut dan melempar senyum manisku dengan kikuk kemudian mengangguk pelan.
            Beberapa menit Shira dan Deni sudah siap untuk pulang dan meninggalkan aku hanya berdua dengan Shidiq. Aku menungguinya sampai ia benar-benar siap. “Ayo Shel” ajak Shidiq dan aku hanya membuntutinya. Selama perjalanan aku hanya diam, kikuk dan panas menyerangku. Rasa yang sangat tidak nyaman.
            “Gimana kerjaan?” ia membuka pembicaraan. “Yah lumayan” jawabku singkat, nafasku masih saja sulit diatur. “Tadi pulang cepat memangnya ada apa?” tanyanya lagi. “Si bos lagi baik, kayaknya lagi dapet bonus banyak dari donatur gitu. haha” jawabku mulai sedikit rileks. Perbincangan kita berlanjut dengan canda dan tawa. Senda gurau yang memang telah lama tidak dapat lagi kita lakukan. Keceriaan dan kepolosan aku dan dia yang selalu aku rindukan. Apakah dia pun merindukannya?
            “Dian apa kabar Diq?” Bodoh. Aku merasa sangat bodoh telah menyebut nama yang seharusnya tidak aku sebut. “Dia baik, masih sibuk ngurus butiknya di Bandung. Biasanya seminggu sekali sih pulang untuk melihat aku dan anak. Kamu sendiri gimana sama Ranu?” seketika badanku mendingin. Sejak tadi aku melupakan keberadaan Ranu hanya karena sibuk mengatur nafasku dan degup jantungku yang semakin berlomba-lomba. “Ya ngga jauh beda, Ranu sering lembur jadi aku juga harus lembur nunggu dia pulang. hehe” jawabku dengan sangat hati-hati. Beberapa kilometer dalam perjalanan kami hanya saling diam. Kami sibuk dalam pemikiran masing-masing, entah masa depan atau masa lalu.
            Aku terdiam ketika sampai di depan gerbang rumah. Aku menatap lurus ke dalam matanya. Berlangsung cukup lama. “Aku minta maaf Diq” kataku spontan. Kami masih saling pandang dan tak ada kata apa pun yang terucap. Debaran jantungku sangat memakan energi hingga aku benar-benar berkeringat. Dia menggeleng masih sambil menatap mataku dan tersenyum. “Salam buat Dian dan terima kasih kamu masih mau mengantar aku” kataku hampir meneteskan air mata. Aku tak mampu. Aku tak mampu melihat matanya yang penuh dengan ketulusan. Mata yang dulu selalu menatapku penuh dengan kasih dan rasa yang bisu. Aku yang dulu penuh ego dan hanya menunggu. Menunggu dia menyatakan cinta agar aku mampu menolak lamaran Ranu. Namun dia tetap bisu dan takdir ternyata memang bukan milik kita. “Iya Shel, aku pamit ya” katanya dan berlalu tanpa menoleh lagi.

***

Kisah ini memang terlalu berat. Bagi aku maupun kamu. Berat untuk memilih kata “setia” dan berat untuk menahan rasa “rindu”. Aku dan kamu memang harus memilih, bahwa kita hanyalah sesuatu “yang pernah terlewatkan” :’) 



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Saturday, August 4, 2012

Anak Pertama


Kemahilanku sudah beranjak ke 9 bulan, berat badanku untuk di ajak bekerja atu bahkan hanya ke kampus untuk konsultasi skripsiku. Sebenarnya ketika awal aku menikah, aku berniat untuk tidak memiliki anak terlebih dahulu, namun nasib berkata lain. Malam pertamaku adalah masa suburku, mungkin ini adalah rezekiku bersama suamiku.
          “kamu sudah minum susunya Lin?” sapa suamiku pagi ini. “Sudah mas, tapi belum habis. Aku seidikit mual.” Jawabku dengan wajah sedikit pucat. “Ya sudah, aku tinggal ngga apa kan Lin?” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk dan tersenyum manis. Aku mencium tangannya dan ia mengecup keningku. Ia pun berangkat kerja dengan sepeda motornya yang sudah sangat butut.
          Sepanjang hari aku hanya di dalam rumah, badanku terasa lemas dan perutku pun bergejolak terus.lemas dan lunglai sehingga aku hanya bisa berbaring. Hingga tepat pukul 12 siang rasanya anakku sudah tak sabar menghirup udara segar, ia bergejolak terus dan terus. Aku meraih handphoneku dan ku telpon suamiku.
          “mas..” ucapku tercekat. Nafasku naik turun cepat. “aku sakit” ucapku lagi. “ya udah kamu tunggu ya, aku langsung pulang” kata suamiku dengan panik yang luar biasa. Aku sibuk mengatur nafasku perlahan. Terus menunggu sampai hampir satu jam menunggu. “Alin, tahan dulu ya” kata suamiku panik dan langsung menggotongku ke mobil angkutan yang ia sewa. “rumah sakit bersalin ya pak” akta suamiku pada supir angkot. Aku masih saja mengatur nafasku yang putus-putus. “Mas, aku ngga kuat. Sakit banget” ucapku dengan sekujur tubuh yang mendingin. Air ketubanku sudah pecah. Suamiku semakin panik dan badanku semakin terasa sangat dingin.
          Sesampainya di rumah sakit au segera di tangani dokter. Aku merasa tidak kuat. Suamiku terus berada di sampingku dan memegangi tanganku erat. Perlahan badanku mulai terasa terbang, aku tidak sadarkan diri. Dalam keadaan seperti ini aku dapat melihat dokter dan suamiku sangat panik. Genggaman tangan suamiku semakin erat namun kemudian aku tak dapat melihatnya lagi, dokter menyuruh suamiku keluar. Sepertinya aku akan melahirkan secara sesar. Semua tidak  dapat terlihat lagi sekarang.
          Mataku terbuka setelah waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Aku melihat suamiku masih setia duduk di sampingku dan menggenggam tanganku. Ada juga ibuku dan ayahku. Bahkan ada sodara jauhku datang. “Alin, kamu sudah sadar?” ucap suamiku terkejut. Aku hanya tersenyum tipis. “Akhirnya Alin, kamu sudah tidak sakit kan?” kata ibuku dengan muka sedih dan terlihat matanya basah. “sudah bu, Alin ngga apa kok” ucapku pelan. Wajah mereka semua terlihat sendu dan mata yang basah. “Maaf ya mas” ucapku. Suamiku melihatku dengan pandangan terkejut. “maaf untuk apa Lin?” tanyanya. “Pasti biaya sesar sangat mahal kan mas? Mas ngga usah sedih. Aku masih ada simpanan sedikit” kataku mencoba menghibur suamiku. Wajahnya masih tetap terlihat sedih namun ada senyum dibibirnya walau sangat tipis. Ia mengangguk.
          Setelah aku sekitar satu jam aku menunggu aku mulai bingung. Mengapa anakku tidak di berikan padaku? Apakah anakku tak memerlukan ASI dariku? Dan mengapa juga anakku tidak tidur di dekat aku? Aku kan ibunya. “mas, anak kita mana? Kok tidak dekat denganku? Memang ia tidak butuh ASI aku?” aku mencoba menanyakannya pada suamiku. “ia Lin, masih di rawat suster. Kamu kan baru pulih” ucapnya tanpa menatap mataku. Aku hanya terdiam takut-takut suamiku malah semakin banyak pikiran. Aku berkhayal seperti apa muka anakku? Apakah mirip aku atau malah mirip suamiku? Ah yang ada di bayanganku dia mirip suamiku, wajarlah. Anakku kan lelaki. Aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Namun dalam bayanganku terlihat anakku tertidur dan tidak menangis, aku jadi ingin mendengar tangisannya.
          “Mas, aku sudah mulai segar. Aku ingin lihat anak kita mas. Aku ingin mendengar tangisannya.” Pintaku penuh harap pada suamiku. Ibuku segera keluar dari kamar inapku. Suamiku memandangiku dengan pandangan yang tak mampu aku artikan. Pandangan yang dalam dan penuh keraguan. “Mas, aku ingin lihat anak kita. Aku ingin menggendongnya mas. Sebentar saja lah” ucapku semakin memohon. Suamiku menunduk dan aku melihatnya menangis. Pilu. Suasana sangat pilu karena aku belum pernah melihat suamiku menangis. Dan tangisannya sangat berat. Ada apa ini?
          Ayah dan ibuku menghampiriku, mereka berusaha menenangkan suamiku. Aku hanya terdiam. Memandang langit-langit kamar yang kusam. “Alin, anak kita sudah diambil lagi oleh-Nya” ucap suamiku dengan kesadaran yang sudah mulai kembali. Aku terdiam. Diam dan tak mampu berbicara. Seketika bayangan anakku kembali datang, ia tersenyum dan mengucapkan kata-kata indah “Mama jangan sedih, aku tunggu mama di syurga. Aku akan sediakan makanan dan minuman terbaik untuk mama”

END


"Teruntuk sepupuku, saudaraku, sahabatku, soulmateku APRIYANTI.. Jangan sedih ya bu, banyak yang udah ngalamin dan cepet dapet gantinya. Semangat!" :') 


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)